Enam tahun lalu, tepatnya 2 Minggu setelah menikah. Suami mengajak saya ke Dieng yaitu menuju Desa Kalilembu. Kami berkunjung karena pekerjaan sekaligus undangan salah satu pemuka desa. Siapa sangka jika desa di kaki Gunung Prau itu memiliki masjid yang sangat megah dan mewah. Biaya membangun masjid itu kurang lebih sebesar 2 Milyar Rupiah dan didanai mandiri oleh warga desanya, contoh kemandirian desa yang sangat hebat.
Saat itu, kedatangan kami bertepatan dengan haul tokoh agama di sana. Kesan pertama bersilaturahmi ke Kalilembu jadi terasa luar biasa. Kenapa luar biasa? Karena saat haul tiba, seluruh warga Kalilembu merayakannya dengan suka cita. Penduduk di desa itu seolah sedang berpesta merayakan hari besar. Mereka dengan ramah menyambut para tamu dari seluruh penjuru Dieng. Pintu rumah warga terbuka lebar, hidangan di tiap rumah pun beraneka ragam, porsinya selalu penuh bahkan melimpah.

Lidah kami mungkin yang paling bahagia, bisa merasakan aneka kudapan. Apalagi perut, jika ia diberi mulut, mungkin si perut sudah berteriak girang sekaligus mengamuk karena tak kuasa menahan pertumbuhannya yang melesat cepat. Mulut kami hampir tak pernah berhenti mengunyah. Ditambah lagi, suhu di Kalilembu yang dinginnya jauh lebih dingin dari Solo, sangat mendukung aktivitas mengunyah. Keesokan paginya, hawa dingin Kalilembu terbukti nyata, saya menemui titik es, batu-batu kecil es, yang menunjukkan dinginnya desa ini.
Hal lain yang membuat saya terkesan adalah penyelenggara perayaan haul di desa itu. Haul biasanya dilakukan untuk tokoh agama berpengaruh dan yang merayakan haul adalah anggota keluarga dari tokoh tersebut tapi tidak dengan Kalilembu, bukan keluarga yang merayakan haul tokoh agama tersebut, tapi seluruh warga desa-lah penyelenggaranya.
Menurut saya, ini sudah menjadi hal yang istimewa. Bagaimana warga desa ini menghormati si tokoh dan bersukacita mengadakan pengajian besar untuk tokoh tersebut. Ditambah lagi dengan tradisi warga dalam menjamu tamu yang datang. Saya yakin, di setiap perayaan haul, para warga di Kalilembu juga menyambut orang-orang yang tak mereka kenali dengan senang hati. Membuka pintu rumah mereka lebar-lebar, mempersilakan orang asing makan, untuk sekedar merayakan rasa khidmat yang mereka rasakan.

Kalilembu mungkin salah satu desa yang sangat kaya di Indonesia. Tanahnya gembur. Airnya mengalir terus. Hasil bumi seperti Kentang Dieng, Carica, Cabe Gendot dan tanaman lainnya tumbuh subur. Semua hasil pertanian itu membuat rakyatnya makmur dan hidup mereka pun selalu akur. Satu hal yang saya ingat tentang Kalilembu, desa ini kuat, penuh rahmat sekaligus digelontori nikmat.
Dieng ternyata tidak sekedar memiliki pemandangan indah tapi juga paket lengkap dari aspek lainnya. Dieng memiliki banyak kekayaan hasil bumi yang tidak dimiliki daerah lain, kearifan lokalnya pun beraneka ragam, dan tak kalah menarik, warganya memiliki tradisi religi yang kuat. Ketiga aspek ini bisa dikembangkan menjadi daya tarik khas Dieng, tentu selain pariwisata alamnya yang memang sudah sangat terkenal.
Saya membayangkan jika Kalilembu atau desa-desa unik lainnya di sekitar Dieng, dikelola dengan sangat baik atau lebih baik lagi, tentu ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sana.
Alih-alih bicara tentang keuntungan, mungkin tak sekedar untung yang didapatkan warga Dieng nantinya. Jika mereka berhasil go public dengan kearifan lokalnya, tentu pengelolaan pedesaan di Dieng sendiri, bisa menjadi media belajar sekaligus model untuk daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, dibalik keragaman dan keunikannya, warga Dieng tetap kuat memegang prinsip, nilai, dan tradisi budaya peninggalan nenek moyang. Selain itu, bagi umat Islam, daerah di sekitar Dieng terkenal memiliki banyak pesantren, menunjukkan tingkat religiusitas warganya pun tinggi. Nah, jika Bali pun memiliki aspek yang sama, tentu Dieng pun bisa mengemas keunikannya dengan cara yang berbeda.
Saat ini, Dieng sudah memiliki program Dieng Culture Festival. Jika event-event yang memuat keunikan Dieng semakin beragam, tentu ini bisa menjadi daya tarik yang besar. Ditambah lagi dengan hasil bumi yang istimewa seperti Carica, Kentang Dieng, dan Cabe Gendhot, ketiga tanaman ini unik sekaligus memiliki kualitas bagus. Ketiganya pun jarang ditemui di daerah lain.
Dari ketiga hasil bumi ini saja, Dieng sudah memiliki alat yang bisa digunakan sebagai penyedot wisatawan untuk mengunjungi Dieng. Saya yakin pemerintah dan warganya pasti mampu mengemas kelebihan ini melalui berbagai program yang lebih bagus juga lebih menarik. Misalnya seperti expo, festival, pasar rakyat sekaligus wisata budaya. Menjadi nilai plus, jika program yang disebutkan sebelumnya, dikemas dengan level penyelenggaraan yang berbeda-beda. Baik yang ditujukan untuk turis lokal maupun wisatawan asing, tentu semakin terbuka lebar, peluang mengenalkan kekayaan Dieng kepada masyarakat global.
Dieng yang sangat potensial dengan kearifan lokal dan hasil buminya adalah bukti nyata bahwa Indonesia ini indah sekaligus kaya. Semoga kelebihan Dieng ini bisa dikelola secara menyeluruh dan optimal hingga seluruh warga Dieng pun merasakan manfaatnya.
Wahyu Mardhatillah
Tulisan Untuk Writing Challenge Meneropong ‘Negeri Khayangan’ Dieng
Diselenggarakan oleh @ibuibudoyannulis & @lindungibudaya